Ketua Komisi X DPR RI : Sedang Terjadi Darurat Perundungan

Editor: Christoper An
Nasional38 Dilihat

Sisi News | Jakarta : Tindakan lebih serius dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) atas kasus perundungan (bullying) anak di sekolah atau lembaga pendidikan masih terus terjadi sangat diperlukan, sebab kasus perundungan telah menjadi momok menakutkan bagi siswa maupun orang tua.

“Standing pointnya saya kira bahwa isu perundungan ini trend kenaikannya tinggi sekali. Sangat tinggi. Jadi pada level ini kita bisa bilang bahwa sedang terjadi darurat bullying atau perundungan di lembaga-lembaga satuan pendidikan kita baik sejak di level SD, SMP maupun SMA. Dan bahkan yang terakhir kita ketahui bersama peserta didik program spesialis kedokteran bunuh diri karena bullying yang terjadi,” ungkap Ketua Komisi X DPR RI, Saiful Huda dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema ‘Mencari Format Pencegahan Kasus Perundungan di Lembaga Pendidikan’ di Jakarta, Selasa (24/9/2024).

Darurat bullying menjadi catatan pertama Saiful Huda dari 10 catatan yang disampaikannya dalam diskusi itu.

“Pertama, kita sedang memasuki situasi di mana terjadi darurat bullying. Tindakan bullying di dalamnya macam-macam, baik yang verbal maupun non verbal, termasuk tindak kekerasan seksual. Terakhir menimpa anak SMP di Palembang yang diperkosa oleh temannya sendirii,” ujarnya.

Dia pun berharap, pemberitaan masih soal perundungan maupun kekarasan terhadap anak mendapat porsi maksimal dari media massa sehingga pemerintah segera merespon dan mengambil tindakan tegas kepada para pelaku kekerasan maupun penganiayaan terhadap anak.

Menurutnya berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2024, KPAI menerima laporan sebanyak 141 laporan kasus bully yang ini sebagian besar, yaitu 95 persen terjadi di lingkungan pendidikan. Lalu 46 kasus perundungan yang membuat korban kehilangan nyawa.

“Selebihnya si korban mengalami trauma berkepanjangan mengalami tingkat stress yang tinggi dan berkepanjangan dan ini rata-rata menimpa anak-anak usia remaja, ” ungkapnya.

Saiful meyakini, kasus bullying yang terjadi lebih banyak lagi dibanding laporan KPAI. Karena data KPAI itu merupakan data yang diperoleh dimana para korban menyampaikan laporan bullying yang dialami. Padahal, banyak para korban bullying tidak melaporkan yang dialaminya karena takut atau faktor lainnya.

Selanjutnya tindakan bully rata-rata dilakukan secara berkelompok atau bersama-sama, dan trendnya terjadi di lingkungan pendidikan.

“Pertanyaannya kalau satu tindakan bisa dilakukan bersama-sama dan prosentasenya selalu dilakukan berkelompok maka tindakan deteksi dini preventif yang dilakukan oleh sekolah menurut saya gagal,” ucap Saiful.

Oleh karena itu, catatan keempatnya, menurut Saiful, Kemendikbudristek dan jajarannya yang memiliki jejaring hingga di level satuan pendidikan tersebut bisa disimpulkan.

Karena sekolah sebagai satuan unit pendidikan gagal dalam mencegah kasus bullying, maka Kemendikbudriistek dan jajarannya belum melakukan upaya pencegahan secara baik.

“Kesimpulan saya sementara, tindakan yang semestinya terstruktur sistematis dan masif yang bisa dilakukan oleh Kemendikbudristek, lalu dinas pendidikan dan pihak sekolah belum berjalan dengan baik.

Diapun menyebut, upaya penanggulangannya masih bersifat parsial dan sporadis atau yang sering kita ingat hari-hari ini ‘No Viral No Justice’. Jadi kalau nggak viral nggak ditangani. Kalau nggak viral, sekolah nggak tahu kalau sudah ada masalah,” ungkapnya.

Komentar