Sisi News|Jakarta: Sebanyak 19 juta perempuan setiap tahunnya, disebut menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) setiap tahunnya. Namun, data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), hanya sedikit perempuan yang melaporkan kasus tersebut ke penegak hukum.
“Sementara yang speak up (angkat bicara), itu hanya 11 ribu sekian dalam setahun. Itu yang kita proses di dalam sistem informasi kita yaitu SIMFONI,” kata Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA Eni Widiyanti, dilansir dari kbrn, Minggu (17/11/2024).
Pihaknya, melihat korban yang mengungkap kasus kekerasan ini menjadi takut. Salah satunya, karena kasus KDRT ini masih dinggap sebagai masalah privat.
“Jadi walaupun dia menjadi korban, itu akan ditutupi. Ini yang masih menjadi persoalan,” ucapnya.
Selain itu, kata dia, pihak keluarga korban masih menganggap KDRT ini sebagai aib. Seharusnya, kasus KDRT ini bukan merupakan masalah serius.
“Kalau ini ditangani dan perempuan yang menjadi korban itu mendapatkan perlindungan dan penanganan yang paripurna, maka dia akan sembuh. Utamanya, dari trauma fisik maupun psikisnya,” katanya, menjelaskan.
Sedangkan, jika kasus KDRT ini diproses ke pihak kepolisian, maka akan ada efek jera untuk pelaku. “Dia (pelaku) tidak akan mengulangi lagi perbuatannya,” kata Eni.
Ia mengatakan, siklus kasus KDRT seringkali berulang. Menurutnya, jika kasus KDRT ini berulang maka kadar kasusnya makin meningkat.
“Ketika ada kasus kekerasan biasanya pelaku menyesal. Kemudian, si istri memaafkan karena masih ada rasa cinta,” ujarnya.
Menurutnya, dengan tidak berlanjutnya kasus KDRT ke ranah hukum, karena, perempuan masih tergantung secara ekonomi. “Ini karena 50 persen penduduk perempuan ini tidak bekerja,” ucapnya.
Meningkatkannya kasus KDRT ini, lanjut Eni, karena ada yang berakhir dengan kematian. Data femisida (kejahatan kebencian berbasis jenis kelamin) di Indonesia sangat tinggi.
Terkait kasus KDRT ini, ia berharap, inisiasi dilakukannya revisi UU Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT ke DPR segera dilakukan. Hal tu karena dalam undang-undang tersebut terdapat kelemahan.
“Kita akan mengusulkan di mana saja yang perlu kita perbaiki. UU ini harus masuk prolegnas,” ujarnya.
Ia juga mendorong inisiasi kembali Undang Undang Kesetaraan Gender. Menurutnya, Undang Undang ini seharusnya menjadi induk seluruh UU terkait dengan perempuan, termasuk penghapusan KDRT.
“Karena apa? Yang namanya KDRT akar permasalahannya tidak ada kesetaraan gender,” ucapnya.
Komentar